Masalah demi masalah dalam hidup terus menari di dapan mata.
Seolah meledek kita yang tengah terngah-engah mengejar semua kebutuhan
hidup. Naif jika kita menafikan materi dalam hidup. Naif juga bila kita
serta-merta membuatnya sebagai satu-satunya tujuan hidup. Karena bahagia
adalah tentang rasa.
Percayalah, manusia tidak akan pernah punya segalanya.
Islam adalah agama yang membuat hambanya berserah diri secara utuh
kepada Yang Maha. Karena tidak satu alasan pun untuk bargaining dengan
perintah maupun laranganNya. Itu adalah kesempurnaan sebuah agama.
Menerima sepenuhnya. Menjalankan penuh kerelaan.
Tentu saja kamu pernah melihat atau mengenal orang yang nampak punya
segalanya. Hdup bergelimang harta, karir cemerlang, keluarga bahagia,
reputasi tanpa cela, ahli ibadah, berjiwa sosial, dan selalu menyayangi.
Orang yang secara zahir membuat kita pantas iri dengannya. Tapi sekali
lagi, percayalah, manusia punya keterbatasan untuk melihat. Kita hanya
bisa menganalisa dari jauh. Lalu dengan pongah mengambil kesimpulan dan
memercayai apa yang ingin kita percayai.
Titik terendah seorang manusia bukan saat ia tidak memiliki apapun di kantongnya. Tapi ketiadaan iman di relung hatinya.
Putus cinta, dikhianati, diabaikan, dan diperlakukan semena-mena
seringkali membuat kita jatuh. Tersungkur meratapi betapa hina dan
rendahnya kita dalam hidup ini. Kemudian diam-diam menyimpan dendam,
menggubah kalimat-kalimat rutukan yang kita tahu tidak bisa mengubah
apapun yang telah, akan, dan tengah terjadi.
Terlebih, manusia sangat membenci momen saat ia tidak miskin secara
materi. Saat saldo rekening tak lagi sanggup menghidupi, saat segala
macam kebutuhan terasa luar biasa mahal. Saat itu kita akan merasa
menderita yang sebenarnya. Harus diakui, materi adalah sahabat karib
manusia.
Namun, di atas semua itu. Perasaan kekurangan dan ketidakberdayaan yang
sebenarnya bukan berasal dari ketiadaan materi. Saya tidak berusaha
untuk berkata bijak di sini. Tapi memang, logikanya materi bersifat
konkrit dan mudah habis. Sementara itu, kepemilikan iman di hati akan
senantiasa kekal. Meneguhkan dan menyemangati hidup.
Saat ini, di luar sana. Ada ribuan orang yang rela mati untuk bisa hidup seperti kamu.
Bagaimana cara menimbulkan perasaan bersyukur? Adalah dengan berhenti
mengeluh. Dengan menempatkan diri secara tepat. Karena secara alami,
manusia tidak akan pernah merasa lebih baik dari sesamanya. Untuk itu,
saat banyak nikmat hidup telah direngkuh. Alih-alih menyibukkan diri
dengan selusin rencana pribadi yang duniawi. Coba luangkan waktu untuk
mengatakan dalam hati. "Ada berapa banyak orang yang hidupnya tidak
lebih beruntung dari saya?"
Sabar itu kata sifat. Bukan kata benda yanng terbatas kuantitas dan kualitasnya.
Sabar itu ada batasnya. Habis sudah kesabaran saya. Kamu pikir, saya masih bisa sabar?
Saya emmang belum mengecek apa makna sabar dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Tapi, jika boleh mengutarakan maknanya, buat saya, sabar
adalah kata sifat. Dan setiap kata sifat itu tidak terikat ukuran.
Artinya, tidak ada batasan yang ajeg untk menentukan seberapa besar atau
kecil atau banyak atau sedikit jumlah dan/atau mutunya.
Kata sifat itu relatif. Punya parameter berbeda untuk setiap orang. Kita
memang bisa mengambil suara terbanyak atau kebiasaan publik untuk
memaknai kata sabar. Tapi tetap saja, sabar selalu terkait dengan
kondisi dan situasi. Isu yang diangkat tidak pernah bisa digeneralisasi.
Oleh karenanya, sebagai makhluk yang senantiasa bergerak. Menghadapi
jutaan kemungkinan. Rasanya sangat sombong jika secara pribadi kita
membatasi rasa sabar untuk diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar